Jumat, 12 Februari 2021

PARANOID BANG ROCKY GERUNG (Paradox Menurut Bang Rocy Gerung Adalah Sebuah Gambaran Suasana Hati Dan Pikiran Yang Sedang Paranoid Menyikapi Himbauan Presiden Untuk Di Kritik)

Oleh : Muhammad Muqrim
Bontang, 11 Februri 2021

Tidak percaya kepada orang lain secara tidak realistis atau merasa dianiaya, munculnya rasa curiga dan rasa takut berlebihan bahkan  kecurigaan terhadap sesuatu yang di anggap memiliki motif tersembunyi. Itulah ciri paranoid.


Bang Rocy Gerung menyikapi pemberitaan  Bapak Presiden Republik Indonesia Jokowi Dodo meminta masyarakat untuk aktif dalam memberikan kritik saran dan masukan yang kemudian di anggap paradox, tidak tanpa alasan kemudian itu dinilai paradox, Karena kepala negara minta di kritik di sisi lain kasus penangkapan para pengkritik semakin meningkat.


Undang-Undang ITE yang di asumsikan berbagai pengamat sebagai undang-undang karet, di mana undang-undang ini banyak meyeret para pengkritik terjerat dalam kasus hukum ketika usai memberikan kritikannya di ruang sosial, ini tidak benar, iya memang tidak benar, kebebasan dan kemerdekaan berpendapat sebelum mengkritik itu di jamin namun setelah mengkritik apakah negara bisa menjamin kebebasan dalam menyampaikan pendapat atau kritikan yang dimaksud. Ini yang menjadi pertanyaan besar bagi kita sesungguhnya.


Setelah membaca pemberitaan terkait Bang Rocy Gerung sang kritikus dan juga merupkan dosen filsafat di salah satu universitas di indonesia ini sepertinya sedang dalam kondisi paranoid, paranoidnya bukan karena dirinya takut betnasib seperti pada kritikus krtikus pemerintah yang sudah di bui, tapi paranoidnya lebih kepada nasib atau kondisi bangsa hari ini.


Kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat baik lisan mauoun tukisan dijamin oleh undang undang dasar 1945, dasar itu jugalah kemudian pada pidato Presiden Jokowi Dodo menghimbau masyarakat untuk tetap kritis terhadap pemerintahan hari ini, namun yang sangat miris terjadi adalah setelah di kritik tidak ada lagi garansi untuk tidak di tangkap dan dijerat dengan perseolan hukum terutama jeratan hukum karet Undang-Undang ITE Nomor 11 Tahun 2008.


Media sosial adalah salah satu instrumen yang paling efektif di diera digital di gunakan oleh masyarskat atau warga negara untuk menuangkan buah pikirannya, dalam bentuk kritikan, saran dan masukan kepada pemerintahan hari ini, baik level nasional, regional maupun lokal. Bahkan mungkin ssja separuh pengguna media sosial ini mulai dari yang menggunakan facebook, instagram, twitter, whatshap dan lain-lainnya mereka kebanyakan membangun narasi-narasi yang bermuatan kritik, saran dan masukan dan kebanyakan kritik itu kepada ketidak nyamanan pelayanan publik, ketidak adilan negara terhadap rakyatnya dan juga tidak jarang kritik yang mengarah ke pribadi-pribadi para pejabat publik yang tidak mencerminkan dirinya sebagai soerang pejabat publik. Tidak bisa di pungkiri bahwa ini adalah konsekwensi akibat semakin canggihnya teknologi hari ini, negara harus menyadari itu bahwa kita sudah memasuki era dimana teknologi menjadi sesuatu yang tidak bisa terpisahkan dari seorang warga negara.


Media sosial hari ini banyak menjerat para aktivis, mereka terjerat oleh kasus pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disingkat UU ITE. Kondisi yang saya ibaratkan buah simalakama dan begitu sangat kontras ketika di sadingkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 tentang menyampaiakan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang di jamin oleh Undang- Undang dimana bunyinya seperti ini “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang".


Merdeka atau kemerdekaan merupakan bahasa yang berasal dari bahasa sang sekerta "Maharddhikeka" yang memiliki pengertian kaya, sejahtera dan kuat. Sementara kalau kita mengutip arti merdeka Atau kemerdekaan dari KKBI, MERDEKA artinya bebas (dari perhambatan, penjajahan, dan lainnya) berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, dan tidak bergantung pada pihak siapapun baik itu orang orang berkpentingan atau tidak berkepentingan sama sekali.


Kemerdekaan rakyat indonesia dalam konteks berpendapat sesungguhnya sudah dirampas oleh aturan negara dimana representasi negara itu adalah kehadiran undang-undang karet tersebut menurut para kritikus, pengamat dan ilmuan di negeri ini yakni Undang undang ITE Nomor 11 tahun 2008 Aturan yang bagi saya secara pribadi berbenturan dengan UU Republik Indonesia tahun 1945. Sudah tepat kemudian kalau undang-undang ini di cabut karena undang-undang ini sama sekali mengkebiri Hak dan kemerdekaan berpendapat seorang warga negara.


Sekian...




0 comments:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahakn Kembali Dengan Sajian Opini Terbaru Narasi Muqrim