Oleh : Muhammad Muqrim
Bontang, 6 Februari 2021, 22.15 Wita
Keputusan ini mewajibakan seluruh tanah yang ada dinegeri ini harus di sertifikasi secara elektronik termasuk yang telah disertifikatkan dan mengantongi sertifikat ditandai dengan selembar surat, itu akan di tarik kemudian di conversi menjadi surat elektrinik atau Sertifikat elektronik.
Senada dengan itu disaat undang-undang omnibuslaw hendak disahkan pemerintah, protes publik sangat besar gaungnya, protes tidak terkecuali salah satu poinnya adalah tentang aturan yang tertuang dalam omnibuslaw soal tanah atau pertanahan, berbagai narasi pemikiran publik atas kebijakan tersebut di lontarlan dalam bentuk aksi dan protes, salah satunya adalah adanya upaya pengambilan paksa oleh negara atas hak terhadap kepemilikan lahan atau tanah masyarakat.
Kemudian apa yang menjadi protes publik terkait upaya negara tersebut rangkaiannya hari ini kemudian berlanjut dengan menerbitkan peraturan menteri pertanahan no 1 Tahun 2021 tentang sertifikat elektronik.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah masyarakat secara SDM sudah siapa menghadapi kebijalan tersebut ?
Tidak semua masyarakat kita melek elektronik, masih banyak masyarakat kita di daerah pelosok negeri ini atau perkampungan gagap elektronik (gaptek).
Indonesia yang begitu luas dari sabang sampai merauke apakah semua termasuk yang ada di pelosok sudah siap menghadapi kebijakan ini ?
Begitupun dengan persoalan-persoalan tanah di berbagai daerah soal sertifikat ganda yang kemudian berdampak hukum, korporasi atau perusahan yang menguasai tanah masyarakat, kepemilikan tanah yang masih status PPAT, bahkan ada yang masih segel, tanah ulayat, tanah adat dan lain sebagainya. Ini harus menjadi pertimbangan juga semestinya ketika melahirkan kebijakan persoalan pertanahan karena saking banyaknya konflik- konflik pertsnahan di negeri ini.
Inkonsistensi pemerintah dalam mengurus pesoalan rakyat mengakibatkan banyaknya terjadi ketimpangan yang ditunjukkan dengan penguasaan lahan petani sekitar 0,5 hektar dari total 15,8 Juta rumah tangga, sementara sektor perkebunan sawit menguasai 16,3 juta hektar tanah dari 500 perusahaan dan sektor tambang mencapai 37 juta hektar. Berdasarkan data KPA, 71% daratan di Indonesia dikuasai korporasi kehutanan. Lalu, 23% tanah dikuasai korporasi perkebunan skala besar, para konglomerat, baru sisanya, masyarakat
Rakyat Indonesia sudah menunggu sekitar 60 tahun lebih agar hak atas tanah sesuai Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 60 segera dipenuhi, tapi nyatanya sampai dewasa ini masih jauh dari harapan. Saat ini yang diperlukan masyarakat adalah keseriusan pemerintah untuk meneruskan kebijakan pemerataan kepemilikan hak atas tanah, bukan menambah rumit persoalan.
Kebijakan ini kita sambut baik ketika negara mampu membijaki soal pemerataan kepemilikan hak atas tanah, termasuk infrasturuktur dan kesiapan masyatakat dari sisi SDM dipersiapkan. Perubahan zaman itu tidak bisa kita hindari namun negara harus siap menghadapai perubahan zaman tersebut dengan mempersiapakan segala bentuk kebutuhan masyarakatnya untuk bisa beradaptasi menghadapi perubahan zaman yang dimaksud. Tidak seperti saat ini yang kesannya masyarskat diabaikan bahkan dijadikan objek perampasan hak- hak atas kepemilikan atas tanah.
Saat ini negara semestinya lebih fokus untuk bersinergi dengan semua pihak termasuk kementriannya, legislatifnya dan yudikstifnya untuk memikirkan bagaimana bangsa ini bisa keluar dari ancaman wabah pandemi virus corona atau covid-19. Bukan justru malah memanfaatkan kepanikan rakyatnya dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang kontra produktif dan semakin menambah kepanikan rakyat terkhusus rakyat yang selama ini memang sudah menghawtirkan persoalan persoalan kepemilikan hak atas tanah mereka.
Saya meyakini bahwa negara ini sedang gaduh dan akan semakin gaduh. Gaduh karenan politik elitis gaduh karenan persoalan ekonomi, gaduh persoalan wabah ditamah lagi kegaduhan terhadap kepemilikan hak tanah warga negara.
Berdasarkan pemikiran diatas insah allah kami dari organisasi kemasyatakata ( Ormas ) lokal Ikatan Pemuda Loktuan Bersatu (IPLB) dalam waktu dekat akan meakukan diskusi dengan pihak BPN Kota Bontang untuk mendapatkan kejelasan terkait bagaimana bentuk penyelesaian terhadap banyaknya konflik yang terjadi di kota bontang baik antara masyarakat dan perusahaan maupun antara masyarakat dengan masyarakat sendiri, karena menurut kami Ikatan Pemuda Loktuan Bersatu (IPLB) penyelesaian konflik ini tidak efektif ketika diselesaikan dengan pendekatan Hukum saja melihat bontang yang memiliki beragam suku dan budaya tentu pendekatannya harus dengan pendekatan kultur atau budaya itu sendiri.
Sumber Bacaan :
https://www.google.com/amp/s/www.mongabay.co.id/2020/09/24/hari-tani-2020-seruan-tolak-omnibus-law-dan-desak-reforma-agraria-sejati/amp/
Peraturan menteri Nomor 1 tahun 2021 tentang sertifikat tanah
Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 60
0 comments:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahakn Kembali Dengan Sajian Opini Terbaru Narasi Muqrim