Oleh : Muhammad Muqrim
Bontang, ) 01 Februari 2021, 03;00 wita
Muhammad Muqrim Foto 2013 |
Tindakan aparat hukum menetapkan tersangka sebelum menemukan perhitungan kerugian negara yang nyata, menentang putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 alias penetapan tersangka cacat hukum, kalau kemudian kita melihatnya dari kacamata undang-undang Hak Asasi Manusia, tentu dapat dipastikan bahwa perilaku penegak hukum bisa dikategorikan melanggar hak asasi manusia, sebagaimana menghilangkan hak konstitusi warga negara dengan menstatuskan tersangka, kemudian merusak nama baik tersangka dan keluarga besarnya.
Ketika
kita melihat dan mengamati proses awal dimana penetapan tiga (3) tersangka dugaan
tindak pidana korupsi ada kejanggalan atau indikasi inkonstitusional, berdasarkan
UU BPK dan Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang menilai/menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara
adalah Badan Pemeriksa Keuangan (“BPK”) dan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”). Adapun perhitungan kerugian negara
sendiri bersifat kasuistis, atau dilihat kasus per kasus.
Dari
pantauan media pemberitaan, Departemen yang menilai/menetapkan ada
tidaknya kerugian keuangan negara yaitu BPK dan BPKP belum mengeluarkan hasil
pemeriksaan. Artinya bahwa dalam kasus ini belum bisa dikategorikan memenuhi
unsur atau kategori terjadi kerugian negara apalagi menetapkan seseorang
menjadi tersangka dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan pengadaan yang
dimaksud tersebut.
Kalau kita
melihat persoalan itu dari sisi administrasi pemerintahan, harus ada kewenangan
penilaian yang sah dalam rangka menilai seseorang melakukan perbuatan melawan
hukum, terkhusus pada Tindakan melawan hukum melakukan kejahatan korupsi. Dari hasil
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016, disitu ditegaskan membatalkan
tafsiran kata "dapat" dalam unsur tindak pidana yang menimbulkan
kerugian keuangan negara menurut Undang-Undang Tipikor, yaitu tidak lagi
sebagai delik formal. Namun itu berlaku sebagai delik ol materiel, artinya bahwa kerugian negara harus bersifat penghitungan
yang nyata (tidak potensial loss). Kemudian ada aparat hukum menetapkan
tersangka terhadap seseorang tanpa didasari dari putusan MK yang telah
memberikan dasar hukum penilaian kerugian negara sebagaimana yang dikemukakan
di atas, maka menurut ketentuan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, diartikan sebagai penyalahgunaan kewenangan( Onrecht
Matige Over Heid Daad).
kesimpulannya bahwa, perbuatan tanpa dasar dalam apalagi tidak melaksanakan atau tidak menjalankan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang diartikan sebagai
tindakan kesewenang-wenangan. Apalagi, putusan MK merupakan hak pengujian
undang-undang Tipikor di bawah UUD 1945 yang pada pokoknya bersifat menciptakan
hukum atau Recht Schepping.
Sumber
Bacaan :
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/search.html/?q=%22Penetapan%20tersangka%22
0 comments:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahakn Kembali Dengan Sajian Opini Terbaru Narasi Muqrim