Senin, 01 Februari 2021

PRA PERADILAN STATUS TERSANGKA (Mengukur Peluang Pembatalan Status Tersangka Pada Dugaan Korupsi Pengadaan Baju Seragam Tahun Anggaran 2019 Di Kabupaten Luwu )

 Oleh : Muhammad Muqrim
Bontang, ) 01 Februari 2021, 03;00 wita


Muhammad Muqrim  Foto 2013
PRA PERADILAN berpeluang menganulir atau membatalkan dengan pertimbangan tidak memenuhi unsur ditetapkan sebagai tersangka atau batal demi hukum, status tersanga pada dugaan korupsi pengadaan baju seragam sekolah tahun anggaran 2019 yang bersumber dari batang tubuh APBD Kabupaten Luwu.

Tindakan aparat hukum menetapkan tersangka sebelum menemukan perhitungan kerugian negara yang nyata, menentang putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 alias penetapan tersangka cacat hukum, kalau kemudian kita melihatnya dari kacamata undang-undang Hak Asasi Manusia, tentu dapat dipastikan bahwa perilaku penegak hukum bisa dikategorikan melanggar hak asasi manusia, sebagaimana menghilangkan hak konstitusi warga negara dengan menstatuskan tersangka, kemudian merusak nama baik tersangka dan keluarga besarnya.

Ketika kita melihat dan mengamati proses awal dimana penetapan tiga (3) tersangka dugaan tindak pidana korupsi ada kejanggalan atau indikasi inkonstitusional, berdasarkan UU BPK dan Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menilai/menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (“BPK”) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”). Adapun perhitungan kerugian negara sendiri bersifat kasuistis, atau dilihat kasus per kasus.

Dari pantauan media pemberitaan, Departemen yang menilai/menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara yaitu BPK dan BPKP belum mengeluarkan hasil pemeriksaan. Artinya bahwa dalam kasus ini belum bisa dikategorikan memenuhi unsur atau kategori terjadi kerugian negara apalagi menetapkan seseorang menjadi tersangka dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan pengadaan yang dimaksud tersebut.

Kalau kita melihat persoalan itu dari sisi administrasi pemerintahan, harus ada kewenangan penilaian yang sah dalam rangka menilai seseorang melakukan perbuatan melawan hukum, terkhusus pada Tindakan melawan hukum melakukan kejahatan korupsi. Dari hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016, disitu ditegaskan membatalkan tafsiran kata "dapat" dalam unsur tindak pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara menurut Undang-Undang Tipikor, yaitu tidak lagi sebagai delik formal. Namun itu berlaku sebagai delik ol materiel, artinya  bahwa kerugian negara harus bersifat penghitungan yang nyata (tidak potensial loss). Kemudian ada aparat hukum menetapkan tersangka terhadap seseorang tanpa didasari dari putusan MK yang telah memberikan dasar hukum penilaian kerugian negara sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka menurut ketentuan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diartikan sebagai penyalahgunaan kewenangan( Onrecht Matige Over Heid Daad).

kesimpulannya bahwa, perbuatan tanpa dasar dalam apalagi  tidak melaksanakan atau tidak menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang diartikan sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Apalagi, putusan MK merupakan hak pengujian undang-undang Tipikor di bawah UUD 1945 yang pada pokoknya bersifat menciptakan hukum atau Recht Schepping.

Sumber Bacaan :

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51fb46e7a8edc/cara-menentukan-adanya-kerugian-keuangan-negara/#:~:text=Pasal%201%20angka%2015%20Undang,hukum%20baik%20sengaja%20maupun%20lalai.%E2%80%9D

https://putusan3.mahkamahagung.go.id/search.html/?q=%22Penetapan%20tersangka%22

https://www.google.com/search?q=hasil+pemeriksaan+bpk+sebagai+acuan+terjadinya+kerugian+negara&rlz=1C1CHBF_enID883ID883&oq=hasil+pemeriksaan+bpk+sebagai+acuan+terjadinya+kerugian+negara&aqs=chrome..69i57.14530j1j4&sourceid=chrome&ie=UTF-8

0 comments:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahakn Kembali Dengan Sajian Opini Terbaru Narasi Muqrim