Oleh : Muhammad MuqrimBontang, 9 Juli 2021
Insruksi menteri dalam negeri nomor 17 tahun 2021, Surat Edaran Menteri Agama Nomor 15 tahun 2021, instruksi Gubernur Kalimatan Timur nomor 14 tahun 2021, Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Kota Bontang. Sederatan peraturan hukum tersebut kemudian menjadi acuan pelaksanaan PPKM MIKRO Darurat di Kota Bontang hari ini yang dimulai sejak 6 Juli sampai 20 Juli 2021 mendatang.
Kita tentu semua pasti sepakat bahwa virus Corona covid-19 ini perlu dilawan, dilawan tentu dengan mempertimbangkan efek efek negatif yang ditimbulkan dikemudian hari. Ketika kita melihat penerapan PPKM Mikro Darurat hari ini, ada beberapa aspek yang menurut saya justru penanganannya malah menimbulkan masalah yang baru yang serius. Dan masalah ini tentu tidak boleh kita anggap sebagai masalah sepele karena menyangkut soal Agama, kepercayaan dan keyakinan seseorang atau kelompok tertentu lebih spesifiknya soal peribadatan ummat Islam yang di tiadakan sementara selama penerapan PPKM Mikro Darurat diberlakukan untuk menghindari terjadinya "kerumunan".
Sangat disayangkan ketika peribadatan itu ditiadakan sementara tempat tempat atau fasilitas fasilitas umum masih terbuka bahkan itu justru berpotensi menimbulkan kerumunan yang lebih besar. Menurut hemat saya fasilitas peribadatan tidak perlu ditutup tapi penerapan protokol kesehatan itu yang perlu diperketat toh waktunya juga tidak lama kok. Paling lama ketika pelaksanaan shalat Jum'at itu 45 menit saja dan itupun bisa diminta kepada pengurus masjid untuk lebih di persingkat dengan membatasi durasi untuk para penceramah, kemudian untuk pengetatan prokes misalnya, sehari sebelumnya pengurus mesjid sudah mengumumkan kepada masyarakat sekitar ketika besok hendak ke mesjid untuk shalat jum'at diwajibkan menggunakan masker, menggunakan hand sanitizer dan menjaga jarak, kalau perlu ada petugas dari pemerintah dilokasi untuk mengawasi jalannya ibadah di masjid masjid.
Pemerintah harus lebih hati hati dalam mengeluarkan kebijakan ketika itu menyangkut persoalan keyakinan ummat beragama. Bukan tanpa alasan ketika masyarakat atau ummat muslim memaksakan diri untuk beribadah di mesjid, apakah itu shalat Jum'at atau mungkin shalat idul adha, apakah kemudian pemerintah mampu atau bisa untuk menghentikan hal itu, ini menjadi tanda tanya besar dalam benak saya.
Ketika ummat Islam di Kota Bontang memaksakan diri dan pemerintah tidak bisa atau tidak mampu menghentikan itu maka pertaruhannya adalah harkat dan martabat serta Marwah pemeritah kota Bontang, karena kebijakan itu adalah kebijakan secara kelembagaan bukan pribadi seorang bapak Basri Rase.
Ini harus dipertimbangkan dengan matang matang. Tentu ketika itu tidak berjalan sesuai harapan pemerintah atau lebih populer disebut sebagai bentuk inkonsistensi aparatur negara dalam menerapkan aturan dan perundang undangan maka di mata rakyat dan masyarakat luas pemeritah akan kehilangan kepercayaan.
Krisis kepercayaan publik hari ini terhadap seorang pemimpin atau kepala daerah tentu akan menjadi bumerang tersendiri dikemudian hari. Kepercayaan publik itu penting dalam menjalankan roda pemerintahan sehingga sinergitas itu bisa terbangun, sinergitas antara masyarakat dan pemeritah baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah dampaknya akan sangat buruk kedepan, maka dengan pertimbangan itulah sekali lagi keputusan tentang penutupan tempat peribadatan itu perlu untuk di evaluasi kembali dengan cermat sehingga tidak menimbulkan perdebatan yang berujung pada terganggunya kondusifitas kota Bontang yang kita cintai.
Kritik ini tidak hanya kepada eksekutif, legislatif juga termasuk bertanggung jawab atas adanya kebijakan ini. Fungsi pengawasan sebagai anggota DPRD harus dijalankan, bagi saya ini sangat riskan terjadinya sebuah perselisihan ditengah masyarakat dikemudian hari. Maka karena itu saya berpandangan bahwa anggota DPRD perlu mengambil sikap untuk mengevaluasi kebijakan ini secara seksama.