Oleh : Abdul Aziz Saleh
Majelis Anggota Nasional
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Gambar : Foto Abdul Aziz Saleh SH, MH |
Tulisan ini saya awali dengan mengutip kalimat dari seorang Aktivis Sosial dan Perburuhan asal Kanada, bernama Diane Kalen-Sukra bahwa "Demokrat bukanlah merupakan sesuatu yang kita warisi sebagai semacam hak suci. Demokrasi adalah suatu privilese yang diberikan oleh para pendahulu kita dan mereka berjuang keras untuk mencapainya. Mereka adalah orang-orang yang tahu persis bagaimana para tiran dan penindas kejam telah mengabaikan suara dan hak-hak dasar rakyat biasa, seperti hak berbicara dan berkumpul. Sayangnya, kita suka lupa bahwa demokrasi juga menuntut keberadaan para warga negara yang mau terlibat aktif, memiliki informasi yang baik, dan bertujuan mencapai kebaikan bersama (common good). Bukan hanya berusaha agar kepentingan kelompok sendiri bisa berjaya."
Menurut penulis, Demokrasi tidak sampai pada proses
pemungutan suara semata, tapi lebih dari itu, tanggungjawab Demokrasi
mengandung nilai-nilai yang harus digali dan diplementasikan dalam kehidupan
rakyat mayoritas. Jika kualitas Demokrasi sebuah bangsa baik, maka pemenuhan
HAM warga negara seperti pendidikan, kesehatan, terbukanya lapangan pekerjaan,
kebutuhan akan sandang, pangan dan papan akan terpenuhi.
Sistem Pemilu
Di Indonesia, dikenal dua sistem Pemilu yaitu
Proporsional Terbuka dan Proporsional Tertutup. Sistem proporsional tertutup
adalah sistem pemilihan yang digunakan di Indonesia sebelum Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008.
Putusan tersebut menandai peralihan sistem pemilihan dari proporsional tertutup
menjadi proporsional terbuka. MK mempertimbangkan jika pasal terkait Proporsional
Tertutup bertentangan dengan amanah konstitusi dan menciptakan ketidakadilan.
Sistem pemilu proporsional tertutup akan mengkudeta suara rakyat. Oligarki
partai semakin menjadi jadi, ibarat membeli kucing dalam karung. Begitu banyak
suara rakyat yang mubazir. Seiring terbuangnya harapan pemilih terhadap
kandidat yang diharapkan mewakili aspirasinya.
Pada prinsipnya, putusan MK bersifat final and
binding bermakna putusan pertama dan terakhir yang tidak ada ranah hukum lagi untuk
mengujinya, namun pada Kamis, 26 Januari 2023, Mahkamah Konstitusi menggelar
sidang pleno perkara nomor 114/PUU-XX/2022, terkait uji materi undang-undang
Pemilu soal sistem pemilihan legislatif proporsional terbuka, dengan agenda
mendengarkan keterangan DPR, Presiden dan pihak terkait KPU. Judicial Review
ini diajukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan didukung oleh
Partai Bulan Bintang dengan alasan efisiensi anggaran, pemberdayaan kader
Partai, menghindari konflik internal Partai dan liberalism politik. Delapan
Partai di DPR menolak pemberlakuan Sistem ini karena menganggap bahwa partai
politik telah diberikan peran yang cukup vital, meskipun dalam sistem
proporsional terbuka pemilih dapat mencoblos nama caleg kemudian yang
memperoleh suara terbanyak yang berhak duduk di kursi legislatif, bukan atas
instruksi Ketum Partai Politik. Berdasarkan Pasal 241 undang-undang Pemilu,
partai politik peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD
provinsi, dan kabupaten/kota secara demokratis dan terbuka sesuai AD/ART
dan/atau penentuan internal.
Polarisasi politik yang tidak sehat seperti ini akan
terus berlanjut dan beranak pinak entah sampai dimana ujungnya. Orang-orang
yang memiliki kualitas Sumber Daya Manusia dan integritas yang baik harus
pasrah menerima kenyataan pahit karena harus berhadapan dengan sistem pemilu
yang sengaja diciptakan untuk mendukung kepentingan para oligark. Rakyat
dipaksa memilih wakilnya di legislatif tanpa mengetahui visi dan misi yang akan
diemban serta kepentingan yang akan diperjuangkannya jika terpilih kelak.
Amanah Konstitusi
Di Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Begitupun dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Jika Demokrasi diasumsikan hanya sebagai alat untuk
mencapai kekuasaan, maka watak para pemimpin menjadi sangat instrumentalik dan
menjadi politisi yang mekanistik. Tak ada lagi nilai yang diperjuangkan. Akan
terjadi politik manipulatif, tipu daya dan kegaduhan terus menerus. Demokrasi
adalah sistem bernegara yang baik, sayangnya para pelaku demokrasi khususnya
para elit politik dan parpol telah mereduksi makna dan praktek demokrasi
sedemikian rupa sehingga pemilu dan pilpres justru menjadi olok-olok dan
cemoohan rakyat. Kalaupun pada akhirnya berubah sistem Pemilu, tentu akan sangat
merepotkan para penyelenggara, karena butuh waktu, pikiran dan tenaga untuk
sosialisasi sistem yang baru. Publik akan kebingungan, para pemilih, peserta
Pemilu akan menyesuaikan lagi strateginya, sementara waktu menuju penyelenggaraan
Pemilu tinggal 14 bulan yaitu pada 14 Februari 2024.