Oleh : Armin Mustamin Toputiri Makassar, 15 April 2022
Saya tak sedikitpun pernah menyangsikan kalimat ditulis tokoh pergerakan beraliran kiri Marxis itu, Tan Malaka di bukunya Madilog (Materialisme-Dialektika-Logika).
Salah satu buktinya, seperti telah ditunjukan mahasiswa pengunjuk rasa 11-04-2022, sekian hari lalu di seantero negeri ini dengan hasil gilang gemilang. Tak main-main, berbuah manis menjegat langkah bidak catur dari skenario besar yang telah dirancang rapi oleh benteng kekuasaan sangat kokoh saat ini.
Meski, sejujur-jujurnya di beberapa tahun terakhir, saya mulai skeptis dengan idialisme mahasiswa, kaum muda umumnya. Selain karena sekian aksi mahasiswa cara kasat mata saya saksikan narasinya tumpul berujung prematur, juga karena banyak soal di negeri ini nyata dibelokkan dari asasinya oleh penguasa, tapi mahasiswa, kaum muda lebih memilih bungkam.
Tokoh-tokoh mahasiswa, tokoh-tokoh muda, juga saya saksikan cara kasat mata, memilih bermewah menuju kuasa dan kekuasaan. Bahkan, mungkin sedikit ekstrim, memilih berdamai dengan penguasa dan kekuasaan. Berbahagia sebagai abdi penguasa. Bahkan seringkali tampil mewujud pion-pion yang berlawanan arah idialisme mahasiswa.
***
Saya mendarasnya seperti itu, berangkat dari pencermatan saya selama sepuluh tahun mengemban amanah rakyat di parlemen. Acapkali diberi tugas menerima aspirasi pengunjuk rasa, saya menghayati sepenuhnya untuk membeda, mana aspirasi diusung atas dasar idialisme, mana aspirasi by-order, serta mana aspirasi tandingan untuk membentengi penguasa dan atau kekuasaan.
Serasa tak rumit bagi saya untuk menghayatinya. Tak semata bermodal dari latar saya yang juga pernah mengecap panggung pergerakan mahasiswa dan kepemudaan, tapi juga saya mengenyamnya justru dari rimba para pewarta. Ikut-ikutan mewujud freelance di sekian penerbitan yang marak di kala itu.
Sinansari Ecip, pewarta senior dan guru para wartawan, sebelum memimpin koran Republika ia Pemred Harian Fajar. Cerita seorang muridnya, Pak Ecip tak bisa dikelabui. Liputan lapangan yang sampai ke mejanya, ia tau mana liputan idialis (apa adanya), serta mana liputan by-order (ada amplopnya).
Ilmu "nujum" pak Ecip, membekali saya acapkali menerima aspirasi pengunjuk rasa mahasiswa, tak kecuali kelompok lain yang datang menyampaikan aspirasi. Rumusnya, tiap kali pengunjuk rasa -- pembawa aspirasi -- datang ke gedung parlemen, paling pertama saya mintai adalah lembaran kertas berisi butir-butir pokok aspirasi hendak disampaikan untuk diperjuangkan.
Sekilas membaca pokok isi aspirasi yang menjadi tuntutan mereka, setelahnya lembaran kertas aspirasi itu saya letakkan depan hidung saya, lalu menciumi aromanya dengan penuh penghayatan. Hasilnya sekian detik berikutnya, saya tak mungkin lagi bisa dikelabui untuk tau, apakah pokok aspirasi disampaikan atas nama idialisme, atau sebaliknya karena by-order.
***
Tanpa mesti mendekat untuk mencium lembaran kertas aspirasi diusung pengunjuk rasa mahasiswa 11-04-2022 lalu, tapi bagi saya aromanya tercium jauh untuk berspekulasi mau meragukan bukan sebuah gerakan atas nama idialisme. Ini murni, pun jika boncengannya terisi itu lazim, tapi sebatas menumpang. Bukan menunggangi.
Justru membuat mata saya terbelalak, kala sore tadi, saya temukan selembar foto terpampang di media berita online. Foto seorang anak muda berdiri di belakang Menko LBP. Ia tengah memegang corong, memandu Silatnas Kepala Desa se-Indonesia di Istora Senayan. Silatnas yang berorientasi penggalangan perpanjangan masa jabatan Jokowi yang justru kemudian ditentang dan digagalkan pengunjuk rasa mahasiswa skala nasional.
Anak muda yang memegang corong di belakang LBP itu, pernah meraup suara mayoritas rakyat menduduki satu kursi DPD-RI. Saya kenal, bahkan dekat. Dia adik saya, dulu di organisasi kepemudaan. Tak lebih kurang sama dekatnya saya dengan Ali Muchtar Ngabalin. Ketiganya, dulu kami pernah ikut menjajak aspal, memegang corong untuk menyuarakan aspirasi rakyat, seperti dilakukan mahasiswa yang bernjuk rasa 11-04-2022.
***
Apa yang salah? Sekira apa soal membuat mata saya terbelalak? Masihkah layak bagi saya untuk mencium sekali lagi aroma lembaran kertas aspirasi disampaikan pengunjuk rasa? Masihkah relevan bagi Pak Ecip untuk sekali lagi menciumi liputan lapangan pewartanya untuk konsisten menjadikan pers -- bersama wakil rakyat serta mahasiswa -- sebagai pilar utama demokrasi?
Rupa-rupanya, tiap masa ada orangnya. Dan tiap orang ada masanya. Dan kalimat ditulis Tan Malaka -- seperti saya kedepankan di bagian awal sebagai pembuka -- memiliki relevansinya sebagai titik temu. Bahwa kemewahan terakhir dimiliki seorang mahasiswa (pemuda), tak lain adalah idialisme. Sesudahnya pasca-mahasiswa, entah!
Maka alangkah naifnya, jika masihlah bestatus mahasiswa tetapi telah kehilangan kemewahan itu. Kemewahan idialisme, bukan kemewahan yang lain-lainnya tulis Tan Malaka. Bukan saya.
Makassar, 15 April 2022
0 comments:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahakn Kembali Dengan Sajian Opini Terbaru Narasi Muqrim